PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Shahih
Pengertian
hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang lain(juga) adil
dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
mengandung cacat (illat). Menurut H. Zeid B. Smeer, Lc, MA dalam bukunya
“Pengantar Studi Hadis Praktis, hadis shahih adalah hadis yang memiliki
criteria hadis maqbul, yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang
bersifat ‘udul memiliki hafalan yang kuat, tidak terdapat kejanggalan dalam
matannya dan tidak pula terdapat cacat. Secara bahasa (etimologi), kata ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat) adalah antonim
dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit).
Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi)
tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka
maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Dari pengertian diatas bahwa kriteria hadits shahih ada lima
syarat:
– Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di
atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
– Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan
juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
– Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan pelupa),
baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab)
– Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan
hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan
dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
– Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan
hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab
yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits
sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
B. Syarat-syarat
Hadits Shahih
1.
Kebersambungan Sanad
Tidak terdapat keseragaman pendapat para ulama mengenai
konsep kebersambungan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut, misalnya
dapat dimajukan konsep yang digulirkan al-Bukhari. Bagi al-Bukhari[1][3] sebuah sanad
baru diklaim bersambug apabila memenuhi criteria berikut:
a.
Pertama, al-liqa’, yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi
dengan perawi berikutnya, yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan
antara murid yang mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya.
b.
Kedua, al-mu’asharah, yakni bahwa sanad diklaim bersambung apabila
terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya.
Sedangkan bagi Muslim, terkesan agak memperlonggar
persyaratan ittishal sanad tersebut. Bagi muslim sebuah sanad dikatakan telah
bersambung apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya begitu
seterusnya ada kemungkinan btertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu
yang sama sementara tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur
dengan kondisi saat itu.
Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa suatu hadis
dinyatakan bersambung sanadnya apabila:
a.
Pertama, pada seluruh periwayat dalam sanad itu terjadi pertemuan
langsung, yakni adanya hubungan antara guru-murid, sehingga seorang perawi
bertemu dengan guru atau orang yang meriwayatkan hadis kepadanya, dan bertemu
langsung dengan murid yang meriwayatkan hadis darinya,
b.
Kedua, antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah
terjadi hubungan periwayatn hadis menurut ketentuan )proses penerimaan dan
periwayatan hadis) tahammul[2][4]
wa ada’ al-hadits. Mayoritas ulama hadis menempatkan periwayan dengan
metode al-sama’ pada peringkat tertinggi.
2.
Perawinya bersifat adil
Term ‘adalah (adil)
secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran.[3][5] Banyak
perbedaan pendapat antara ulama, memperhatikan pendapat ulama yang telah
dipaparkan agaknya dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan adil atau bersifat
‘adalah jika pada dirinya terkumpul criteria muslim, baligh, berakal,
memelihara muru’ah, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat
dipercaya beritanya.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan adil adalam transformasi hadis adalah bahwa periwayat tersebut harus
beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara citra
dirinya (muru’ah). Dengan kata lain, keadilan periwata ini terkait erat dengan
kualitas pribadinya. Sekalipun ulama mempunyai maksud yang sama dalam
mendefinisikan tentang sifat adil ini, tetapi mereka berbeda dalam redaksi dan
kriterianya. Syuhudi Ismail[4][6] menyebutkan
terdapat 15 pendapat para ulama ketika mendefinisikan keadilan periwayat hadis.
Ada beberapa cara menetapkan keadilan periwayat hadis yang
disebutkan oleh ulama, yakni berdasarkan:
a.
Pertama, popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama
hadis
b.
Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat hadis
c.
Ketiga, penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh bila
para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.
3.
Perawinya bersifat dhabit
Dhabit (Aspek intelektualitas) perawai yang dikenal dalam
ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis. Istilah dhabit
ini secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu.[5][7]
Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya
terdapat sifa-sifat berikut:
a.
Pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya
dan diterimanya
b.
Kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik atau
mencatat dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya)
c.
Ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwyat hadis yang telah
didengarnya dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi
tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.
4.
Terhindar dari Syadz
Secara lebih luas, dalam terminology ilmu hadis, terdapat tiga
pendapat berkenaan dengan denifisi syadz, yakni
a.
Pertama, pendapat yang dimajukan al-Syafi’I, menyatakan bahwa hadis baru
dinyatakan mengandung syadz bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
tsiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
juga bersifat tsiqah. Dengan demikian hadis syadz itu tidaklah disebabkan oleh
kemenyedirian individu perawi dalam sanad hadits, dan juga tidak disebabkan
perwai yang tidak tsiqah
b.
Kedua, bagi Al-Khalili, sebuah hadis dinyatakan mengandung syadz apabila
hanya memeiliki satu jalur saja, baik
hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah maupun yang tidak, baik
btertentangan atau tidak. Dengan demikian, hadis syadz bagi al-Khalili sama
dengan hadis yang berstatus fard mutlaq. Alasan yang dimajukan al-Khalili
adalah karena hadis yang berstatus fard mutlaq itu tidak memiliki syahid , yang
memunculkan kesan bahwa perawinya syadz, bahkan matruk.
c.
Ketiga, pendapat yang dikemukakan oleh al-Naisaburi bahwa hadis diklaim syadz
apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi yang meriwayatkan hadis
tersebut. Dengan demikian, kerancuan (syadz) sebuah sanad hadis disebabkan oleh
kemenyendirian perawi, dan tidak disebabkan oleh ketidaktsiqatan seorang perawi
hadis
5.
Terhindar dari ‘illat
Kata ‘illat secara lughawi berate sakit. Adapula yang
mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminology ilmu hadis, ‘illat
didefinisikan sebagai sebuah hadis yang didalamnya terdapat sebab-sebab
tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak
shahih. ‘Illat disini adalah cacat yang menyelinap pada sanad hadis, sehingga
kecacatan tersebut pada umumnya berbentuk:
a.
Pertama, sanad yang tampak bersambung (muttashil) dan sampai kepada Nabi
(marfu’) ternyata muttashil tetapi hanya sampai kepada sahabat (mawquf)
b.
Kedua, sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tetapi
hanya riwayat sahabat dari sahabat lain (mursal)
c.
Ketiga, terjadi percampuran dengan hadis lain
d.
Keempat, kemungkinan terjadi kesalahan penyebutan perawi yang memiliki
kesamaan nama, padahal kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya (tsiqah)
tidak sama
C. Cara mengukur
keshohihan hadits.
Untuk mengetahui suatu hadits itu
apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang telah
tercantum dalam sub yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat
yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat
hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits,
kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas
intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya berada
pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan
sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan
apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu
kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang
pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk hadits shahih lighoirihi
kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan
kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat
beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya menjadi hadits shahih
lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada hadits hasan
akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan melalui beberapa
jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
· Ashahhul asanid (sanad-sanad paling shahih)
Para ulama’ berusaha keras
mengkomparasikan antar perwi-pwrwi yang maqbul dan mengetahui sanad –sanad yang
memuat drajat diterima secara maksimal kerena perawinya terdiri dari orang
–orang terkenal dengan keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang
lainnya. Mereka menilai bahwa sebagian sanad shahih merupakan tingkat tertinggi
dari pada sanad lainnya,karena memenui syarat syarat maqbul secara maksimal dan
kesempurnaan para perowinya dalam hal kreteri-kereterianya. Mereka kemudian
menyebutnya ashahhul asnid. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai
hal itu. Sebagian mengatakan, ashahhul asanid adalah :
1.
Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim ibn abdillah ibn umar dari ibn
umar.
2.
Sebagian lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riayat sulaiman
al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.
3.
Imam bukhari dan yang lain mengatakan, sahahhul asnid adalah riwayat
imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar dari ibn umar. Dan karena imam
asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari imam
malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayakan dari
imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin cenderung menilai bahwa
ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam syafi’I dari imam malik
dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan silsilah adz- dzahab
(rantai emas).
Untuk memudahkan mengetahui
ashahhul asanid dan meredam silang dikalangn ulama’ mengenai hal ini, maka abu
abdillah al-hakim mamandang perlu menghususkannya dengan sahabat tertentu atau
negeri tertentu.
Hadits shahih terbagi menjadi dua;
1. Shohih
lidzatihi
Shohih lidzatihi adalah sebuah hadits yang mencakup
semua syarat hadits shahih dan tingkatan rowi berada pada tingkatan pertama.
Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di
atas, akan tetapi tingkatan perowi hadits berada pada tingkatan kedua maka
hadits tersebut dinamakan hadits Hasan.
2. Shohih
lighoirihi
Hadits ini dinamakan lighoirihi karena keshahihan
hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits yang tidak sampai
pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Yakni dlobid seorang
rowi tidak pada tingkatan pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang
mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini
dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang
diriwayatkan melalui jalur lain.
Menurut Ibnu Sholah memberi alasan karena pada Muhammad bin
Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan
juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu
oleh al A’raj bin Humuz dan sa’id al Maqbari maka bias dikategorikan shohih
lighirihi.
PENUTUP
Kesimpulan
Hadits shahih lebih sempurna dari pada hadits hasan, karna
hadits shahih para perwinya adil,sanadnya bersambung sampei Rosulullah,sempurna
hafalannya, kuat ingatannya, tidak janggal dan tidak ada cacat. Sedangkan hadits
hasan, bedanya sedikit dengan shahih yaitu: lemah hafalannya tapi yang lain
sama.
Meskipun hadits hasan kududukannya dibawah hadits shahih
tapi para ulama’ berhujjah bahwa hadits hasan beleh dijadikan sebagai sandaran
hukum islam, dalam moral dan aqidah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-khotib, DR. Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits :
Pokok-pokok Ilmu Hadits. (Gaya Media Pratama: Jakarta). 2001.
Ali Mustofa Ya’kub, 1991, Imam bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Jakarta:
Pustaka Firdaus, cet II
Syuhudi Ismail, 1992, Metodologi
Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Abu Louis Ma;luf, 1986,
Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam
Beirut: Dar al-Masyriq cet ke-24
https://abusyauqitamim.wordpress.com/2012/04/05/hadits-shahih/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar