PELAKSANAAN PEMECAHAN PERKARA PIDANA
(SPLITSING)
Dalam Pasal 184 KUHAP terdapat
lima alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu
tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling
mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam
prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti
berupa keterangan saksi dan pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan
alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir
semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan
saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Akan tetapi tidak semua keterangan
saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan
saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu,
keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain (testimonium de
auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan
yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi
demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.
Kemudian sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP,
maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti
yang cukup untuk untuk membutuhkan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal
dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi). Artinya,
jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa
ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, maka
“kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup
untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Permasalahan yang muncul di dalam
praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana
yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung
melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang
paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam
hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan
perkara (splitsing) supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai
kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas,
sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.
Dasar dari dilakukannya pemecahan perkara tersebut
tercantum dalam Pasal 142 KUHAP yang menyatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas
perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang
tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat
melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”
Dalam pasal 142 KUHAP terdapat pengecualian
yang tercatum dalam pasal 141 berbunyi:
“Penuntut Umum dapat melakukan pengabungan perkara
dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau
hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
- Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungaannya;
- Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
- Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Yang dimaksud dengan “ tindak pidana dianggap
mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain “ dalam pasal 141 huruf b adalah
apabila tindak pidana tersebut dilakukan :
- Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
- Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dan pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat
yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lainatau menghindarkan
diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada
Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas
perkara menjadi beberapa berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk melakukan
splitsing berada di tangan Penuntut Umum.
Pemecahan perkara
pidana oleh Penuntut Umum dilakukan jika menerima berkas perkara yang memuat
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa dan untuk kepentingan
pemeriksaan menurut penulis sebaiknya
perkara–perkara tersebut tidak dikumpulkan menjadi satu. Oleh karena itu
Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing – masing terdakwa secara
terpisah. Pemisahan ini diatur dalam pasal 142 KUHAP : “Dalam hal Penuntut Umum
menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan
oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141,
Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing – masing terdakwa
secara terpisah”. Seperti kasus di Kejaksaan Negeri Kota Malang, alasan dilakukannya pemecahan perkara pidana
(splitsing) oleh Penuntut Umum untuk memudahkan pembuktian karena terlibat
dalam perkara yang sama dan tidak ada saksi, di mana jika semua jadi terdakwa
maka tidak ada saksi, dan juga terdapat alasan koneksitas yaitu dalam tindak
pidana tersebut terdapat para pelaku orang sipil yang tunduk pada peradilan
umum dan anggota militer (TNI) yang tunduk pada peradilan Militer. Penulis
menyarankan penuntut umum yang kedudukannya lebih tinggi dari pada penyidik,
dalam menerima perkara harus diteliti dulu jangan asal terima, karena jika
penuntut umum menerima perkara yang seharusnya dilakukan splitsing tapi tidak
displit maka penuntut umum akan mengalami kesulitan di sidang di pengadilan
nanti, karena dakwaan biasanya tidak diterima dan terdakwa biasanya bebas dari
hukuman dengan alasan bebas demi hukum. Oleh karena itu penuntut umum harus
teliti dalam menerima BAP dari penyidik dan sebaliknya penyidik agar juga
diteliti sebelum diserahan kepada penuntut umum.
Menurut penulis tidak
selamanya pemecahan perkara ( splitsing ) dapat digunakan, seperti saja contoh
pada kasus dugaan korupsi
dalam proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran melibatkan banyak kepala daerah. Namun hingga
saat ini, yang duduk di kursi terdakwa baru HB Amiruddin Maula, mantan Walikota
Makassar. Mengapa hanya Maula yang diseret ke Pengadilan Tipikor? Pertanyaan
itulah yang diajukan pengacaranya. Tim pengacara percaya perbuatan korupsi itu,
kalaupun benar dilakukan bersama-sama dengan orang lain. Jaksa semestinya juga
mencantumkan keterlibatan orang lain itu dalam berkas perkara. Berkas perkara
harus disempurnakan sampai jelas pelaku-pelakunya HM Taufan Pawe, ketika
membacakan pembelaan atas Maula.
Pernyataan Taufan membuka kembali dasar di balik
pemisahan berkas untuk perkara yang sama. Pemisahan perkara (splitsing) sudah sering sekali kita temukan,
termasuk di Pengadilan Tipikor. Biasanya pemisahan itu dikualifikasi dari
kualitas pelaku, yaitu rekanan dan pejabat negara. Sementara pasal yang dibidik
kepada pelaku
biasanya sama.
Pasal langganan yang kerap dituding kepada terdakwa adalah Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 UU Korupsi.
Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing kasus adalah hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa
menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu
juga melibatkan beberapa orang tersangka. Dengan kata lain, ada lebih dari
satu perbuatan dan pelaku. Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing
terdakwa berbeda. Selain peran, bisa juga dilihat dari locusnya ( tempatnya ), jelas Totok Bambang,
seorang jaksa.
Menurut M. Yahya Harahap, pakar hukum acara, pemisahan
berkas perkara bukan tren yang muncul belakangan. Sejak zaman HIR, itu sudah
lazim dipraktekkan di pengadilan. Pada masa lalu, tujuan memecah perkara itu
terkait karena kurangnya saksi. Sehingga untuk mencukupi saksi sebagai alat
bukti, berkas dipecah, ujarnya.
Meskipun berkas dipisah, kalau perbuatannya dilakukan
bersama-sama dengan orang lain, jaksa di Pengadilan Tipikor tetap menjerat para
pelaku dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan. Nah, hakim
acapkali berbeda pandangan dalam melihat peran dari masing-masing terdakwa.
Bahkan kerugian negara yang diakibatkan perbuatan pidana tersebut pun bisa
tidak sama.
Sebut saja perkara korupsi Automatic
Fingerprint Identification System (AFIS) yang
diputus beberapa tahun lalu. Perkara
AFIS ini dibagi menjadi dua berkas. Pertama dakwaan kepada Eman Rachman,
Direktur PT Sentral Filindo yang menjadi
rekanan dalam pengadaan alat AFIS. Berkas kedua menyangkut Zulkarnain
Yunus dan Apendi. Mereka adalah mantan Sekjen Departemen Hukum dan HAM
(Depkumham) dan Kepala Bagian Rumah Tangga Dirjen Administrasi Hukum Umum.
Majelis hakim yang mimpin dalam kedua perkara itu pun berbeda.
Perkara Eman dipimpin oleh hakim Moerdiono. Sedang perkara Zulkarnain dan
Apendi dipimpin oleh hakim Moefri. Rambut boleh sama, putusan bisa beda. Pada
akhirnya putusan yang dijatuhkan kedua majelis memang berbeda.
Eman selaku rekanan dituding melakukan perbuatan melawan
hukum alias melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi. Eman terbukti sebagai medepleger (turut serta) bersama
Zulkarnain dan Apendi. Sementara Zulkarnain dan Apendi terbukti menyalahgunakan
wewenang. Tidak jelas kualifikasi deelnemingnya
(penyertaan). Ujung-ujungnya aktor intelektual kasus AFIS belum
terungkap.
Hal serupa juga terjadi dalam kasus korupsi busway yang
melibatkan Rustam Effendi Sidabutar (Kepala Dinas
Perhubungan DKI Jakarta) dan Sylvira Ananda (Pimpro
Busway). Keduanya diputus bersalah menyalahgunakan jabatan. Sementara
rekanannya, Budi Susanto, mantan
Direktur Utama PT Armada Usaha Bersama dituding melakukan perbuatan melawan
hukum yang merugikan keuangan negara.
Begitu pula dalam kasus korupsi penerbitan Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kalimantan Timur. Kasus yang dibagi menjadi empat
berkas ini bahkan berbeda soal perhitungan kerugian negara. Dalam tingkat
banding, kasus penerbitan IPK yang melibatkan Suwarna Abdul Fatah, Gubernur
Kaltim non-aktif, putusan pengadilan Tipikor tingkat pertama dibatalkan.
Menurut majelis hakim banding, putusan itu salah dalam menerapkan hukum.
Putusan itu dikoreksi dan Suwarna juga dikenakan Pasal 2 ayat (1) seperti
rekanannya, Marthias alias Pung Kian Hwa.
Padahal
jika kita mengacu pada
ketentuan Pasal 142 KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa
tindak pidana yang berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu
yang sama. Jadi
menurut penulis kasus-kasus diatas harusnya tidak menggunakan metode pemecahan
perkara ( splitsing ) karna kasus-kasus diatas hanya terdapat satu kasus yang
sama.
Apalagi, biasanya ada terdakwa baru dalam kasus yang sama diajukan ke pengadilan
setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Otomatis terdakwa baru itu pasti
dihukum. Sebab dalam putusan itu, terdakwa lama sudah dinyatakan melakukan
tindak pidana bersama-sama dengan terdakwa baru. Di satu sisi splitsing perkara memang dibenarkan
oleh undang-undang. Namun disisi lain, pemisahan itu kerap menimbulkan masalah.
Berdasarkan wawancara hukumonline kepada
ahli hukum, ada tiga problem yang mencuat dalam pemisahan perkara. Pertama
perbedaan penerapan hukum, pelanggaran azas non self incrimination dan praduga
tak bersalah dan kaburnya unsur deelneming.
Berikut
penjelasan tentang deelneming dan azas non self incrimination
Deelneming
Menurut ahli hukum acara pidana, Chairul Huda splitsing
di Pengadilan Tipikor tidak tepat. Bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya,
tegasnya. Sebab, lanjutnya, pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan
tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger
(turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus dibuktikan
karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan
tidak terbukti.
Hal senada juga disampaikan oleh Rudy Satrio, ahli hukum
pidana Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa
dalam membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian
antara pelaku. Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan
antar pelaku, terangnya.
Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan
penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak
pidana yang dilakukan berbeda. Kalau tidak sama, turut serta dalam
melakukan apa ? Kalau pasalnya beda
tidak bisa dikatakan deelneming, red), terang Rudi. Chairul menerangkan
semua atau salah satu unsur yang ada dalam dakwaan harus dilaksanakan secara
bersama-sama. Kalau dia didakwa sendiri bagaimana membuktikan bersama-samanya,
tandasnya. Terdakwa tunggal itu tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana
bersama-sama orang lain. Menurutnya dosen Universitas Muhammadiyah itu,
inkonsitensi penerapan pasal menunjukan adanya dua delik yang berbeda. Padahal
didakwa melakukan deelneming. Menunjukan ketidaktepatan dalam menerapkan pasal,
terangnya.
Azas Nonself Incrimination
Menurut
penulis disini konsekuensi lain dari splitsing adalah, para pelaku
harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing. Dalam satu perkara pelaku
memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul
saksi mahkota.
Menurut Chairul, itu tidak bisa dibenarkan. Karena dalam
memberikan keterangan saksi harus disumpah. Artinya dia tidak boleh bohong.
Sementara, dalam kapasitas terdakwa, pelaku tidak disumpah. Ia punya hak
ingkar. Artinya dia boleh bohong, terang Chairul. Kondisi itu, kata Chairul,
sangat tidak adil bagi terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak
hanya menegakan hukum, tapi juga keadilan. Padahal, terdakwa tidak boleh
dipersalahkan atas keterangannya.
Apalagi, keterangan yang diberikan besar kemungkinan
menunjukan kesalahan dia dalam kasus tersebut. Dia mengatakan hal yang
membenarkan kesalahannya, terang Rudi. Disisi lain, hal ini kerap dijadikan
petunjuk bagi hakim dalam menangani kasus pelaku itu sendiri. Padahal selaku
terdakwa ia memiliki hak ingkar. Chairul menambahkan praktek saksi mahkota
mengakibatkan pengadilan tidak dilaksanakan tidak berdasarkan hukum acara (due proecss of law). Itu bisa dijadikan
alasan kasasi dan banding, terangnya.
Terkait dengan penyusulan terdakwa baru, Rudi menyatakan
hal itu melanggar azas praduga tak bersalah. Sebab pemeriksaan di muka
persidangan belum selesai. Namun dengan putusan terdakwa lama ia sudah
dinyatakan bersalah. Artinya pemeriksaan itu hanya formalitas saja. Menurut
Rudi, pemisahan itu bisa dilakukan dalam hal kekurangan alat bukti. Misalnya
dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang. Tidak ada yang bisa
dijadikan saksi kecuali para pelaku dan korban. Dalam hal ini diantara pelaku
itu akan dijadikan sebagai saksi. Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran
yang berbeda. Dengan catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar.
Harus bisa dilihat apakah terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang
didakwakan, terang Chairul. Misalnya antara penyuap dan pejabat yang menerima
suap.
Dalam KUHAP Splitzing
atau pemecahan berkas perkara memang dimungkinkan dan menjadi bagian dari
kewenangan Jaksa Penuntut Umum. Namun, menurut penulis disini harusnya kewengan
ini dilakukan secara selektif. Karena bila tidak hati-hati malah akan melanggar
beberapa ketentuan KUHAP lainnya
Pemecahan berkas
perkara yang pada pokoknya satu perkara biasanya digunakan oleh Jaksa untuk
perkara-perkara dimana tindak pidananya dilakukan secara berjamaah. Dalam
konteks ini, kemudian muncul istilah saksi mahkota. Dimana Terdakwa menjadi
saksi bagi Terdakwa lainnya yang pokok perkaranya sama karena tindak pidana
dilakukan secara berjamaah
Pada dasarnya secara
prinsip KUHAP menyatakan dalam Pasal 66 jo Pasal 189 ayat (2) KUHAP bahwa
Tersangka atau Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dan
keterangan terdakwa tersebut hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri,
disamping itu terdakwa juga memiliki hak ingkar berdasarkan Pasal 175 KUHAP.
Artinya pemecahan
berkas perkara itu sendiri sudah mengandung kelemahan hukum sedari semula.
Karena Terdakwa akan bersaksi yang mana kesaksiannya tersebut secara tidak
langsung dapat memberatkan tindak pidana yang dilakukannya
Dalam hal ini,
sebenarnya ketika berkas perkara itu dipecah, terdakwa yang menjadi saksi
berhak untuk diam begitu juga terdakwanya sendiri ketika akan memberikan
keterangan tentang tindak pidana yang dilakukannya secara berjamaah itu dengan
kata lain KUHAP sebenarnya melarang penggunaan terdakwa untuk menjadi saksi
dalam perkara yang berkasnya dipecah. Ketentuan serupa juga bisa kita temukan
dalam berbagai Putusan MA: No 1174 K/Pid/1994, No 1590 K/Pid/1994, No 1592
K/Pid/1994, No 1706 K/Pid/1994, No 381 K/Pid/1995, dan No 429 K/Pid/1995 yang
telah menciptakan yurisprudensi yang berbobot dan bernilai mengenai status
hukum ”Saksi Mahkota” yang selama puluhan tahun dijalankan dan diterima oleh
para hakim sebagai sesuatu yang benar. Dengan adanya yurisprudensi baru ini,
maka adanya ”Saksi Mahkota” adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Hakim seharusnya menolak
saksi mahkota (Ali Budiarto, Varia Peradilan No 120, September 1995)
Oleh sebab itu Jaksa sedapat
mungkin harus menghindari penggunaan saksi yang terdakwa ini karena bukan tidak
mungkin kehadiran terdakwa menjadi saksi dalam perkara yang pada pokoknya
adalah sama merupakan elemen kunci dan satu-satunya dalam pembuktian dan bukan
salah satu elemen dalam pembuktian dalam suatu tindak pidana.
Jadi
disini penulis dapat menyimpulkan dari berbagai kasus diatas dan pendapat dari
pakar hukum pidana bahwa metode pemecahan perkara atau splitsing itu harus
diterapkan pada kasus kasus yang memang harus diterapkan. Seperti pada kasus Kejaksaan
Negeri Kota Malang yaitu adanya koneksitas yaitu dalam tindak pidana tersebut
terdapat para pelaku orang sipil yang tunduk pada peradilan umum dan anggota
militer (TNI) yang tunduk pada peradilan Militer. Selain Metode splitsing ini
bermanfaat dalam upaya mendapatkan alat bukti, metode ini juga memiliki
beberapa kekurangan/ masalah yaitu Pertama perbedaan penerapan hukum,
pelanggaran azas non self incrimination dan praduga tak bersalah dan kaburnya
unsur deelneming seperti yang telah dijelaskan
penulis diatas.
How to play casino games online and mobile in - Kadangpintar
BalasHapusCasino Game Variety — 인카지노 Online Casino kadangpintar is a fun game that is based on the elements of gambling. The game of choice is in the casino, as 1xbet