Minggu, 29 Mei 2016

pelaksanaan pemecahan perkara pidana ( splitsing )




PELAKSANAAN PEMECAHAN PERKARA PIDANA (SPLITSING)

Dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi dan pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Akan tetapi tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain (testimonium de auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.

Kemudian sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk untuk membutuhkan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi). Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Permasalahan yang muncul di dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara (splitsing) supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas, sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.

Dasar dari dilakukannya pemecahan perkara tersebut tercantum dalam Pasal 142 KUHAP yang menyatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

 Dalam pasal 142 KUHAP terdapat pengecualian yang tercatum dalam pasal 141 berbunyi:

“Penuntut Umum dapat melakukan pengabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
  1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungaannya;
  2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
  3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Yang dimaksud dengan “ tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain “ dalam pasal 141 huruf b adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan :

  1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
  2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dan pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;

Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lainatau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.

Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk melakukan splitsing berada di tangan Penuntut Umum.
Pemecahan perkara pidana oleh Penuntut Umum dilakukan jika menerima berkas perkara yang memuat tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa dan untuk kepentingan pemeriksaan menurut penulis  sebaiknya perkara–perkara tersebut tidak dikumpulkan menjadi satu. Oleh karena itu Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing – masing terdakwa secara terpisah. Pemisahan ini diatur dalam pasal 142 KUHAP : “Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing – masing terdakwa secara terpisah”. Seperti kasus di Kejaksaan Negeri Kota Malang,  alasan dilakukannya pemecahan perkara pidana (splitsing) oleh Penuntut Umum untuk memudahkan pembuktian karena terlibat dalam perkara yang sama dan tidak ada saksi, di mana jika semua jadi terdakwa maka tidak ada saksi, dan juga terdapat alasan koneksitas yaitu dalam tindak pidana tersebut terdapat para pelaku orang sipil yang tunduk pada peradilan umum dan anggota militer (TNI) yang tunduk pada peradilan Militer. Penulis menyarankan penuntut umum yang kedudukannya lebih tinggi dari pada penyidik, dalam menerima perkara harus diteliti dulu jangan asal terima, karena jika penuntut umum menerima perkara yang seharusnya dilakukan splitsing tapi tidak displit maka penuntut umum akan mengalami kesulitan di sidang di pengadilan nanti, karena dakwaan biasanya tidak diterima dan terdakwa biasanya bebas dari hukuman dengan alasan bebas demi hukum. Oleh karena itu penuntut umum harus teliti dalam menerima BAP dari penyidik dan sebaliknya penyidik agar juga diteliti sebelum diserahan kepada penuntut umum.
Menurut penulis tidak selamanya pemecahan perkara ( splitsing ) dapat digunakan, seperti saja contoh pada kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran melibatkan banyak kepala daerah. Namun hingga saat ini, yang duduk di kursi terdakwa baru HB Amiruddin Maula, mantan Walikota Makassar. Mengapa hanya Maula yang diseret ke Pengadilan Tipikor? Pertanyaan itulah yang diajukan pengacaranya. Tim pengacara percaya perbuatan korupsi itu, kalaupun benar dilakukan bersama-sama dengan orang lain. Jaksa semestinya juga mencantumkan keterlibatan orang lain itu dalam berkas perkara. Berkas perkara harus disempurnakan sampai jelas pelaku-pelakunya HM Taufan Pawe, ketika membacakan pembelaan atas Maula.
Pernyataan Taufan membuka kembali dasar di balik pemisahan berkas untuk perkara yang sama. Pemisahan perkara (splitsing) sudah sering sekali kita temukan, termasuk di Pengadilan Tipikor. Biasanya pemisahan itu dikualifikasi dari kualitas pelaku, yaitu rekanan dan pejabat negara. Sementara pasal yang dibidik kepada pelaku biasanya sama. Pasal langganan yang kerap dituding kepada terdakwa adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi.
Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing kasus adalah hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu juga melibatkan beberapa orang tersangka. Dengan kata lain, ada lebih dari satu perbuatan dan pelaku. Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda. Selain peran, bisa juga dilihat dari locusnya ( tempatnya ), jelas Totok Bambang, seorang jaksa.
Menurut M. Yahya Harahap, pakar hukum acara, pemisahan berkas perkara bukan tren yang muncul belakangan. Sejak zaman HIR, itu sudah lazim dipraktekkan di pengadilan. Pada masa lalu, tujuan memecah perkara itu terkait karena kurangnya saksi. Sehingga untuk mencukupi saksi sebagai alat bukti, berkas dipecah, ujarnya.
Meskipun berkas dipisah, kalau perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan orang lain, jaksa di Pengadilan Tipikor tetap menjerat para pelaku dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan. Nah, hakim acapkali berbeda pandangan dalam melihat peran dari masing-masing terdakwa. Bahkan kerugian negara yang diakibatkan perbuatan pidana tersebut pun bisa tidak sama.
Sebut saja perkara korupsi Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) yang diputus beberapa tahun lalu. Perkara AFIS ini dibagi menjadi dua berkas. Pertama dakwaan kepada Eman Rachman, Direktur PT Sentral Filindo yang menjadi  rekanan dalam pengadaan alat AFIS. Berkas kedua menyangkut Zulkarnain Yunus dan Apendi. Mereka adalah mantan Sekjen Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) dan Kepala Bagian Rumah Tangga Dirjen Administrasi Hukum Umum.
Majelis hakim yang mimpin dalam kedua perkara itu pun berbeda. Perkara Eman dipimpin oleh hakim Moerdiono. Sedang perkara Zulkarnain dan Apendi dipimpin oleh hakim Moefri. Rambut boleh sama, putusan bisa beda. Pada akhirnya putusan yang dijatuhkan kedua majelis memang berbeda.
Eman selaku rekanan dituding melakukan perbuatan melawan hukum alias melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi. Eman terbukti sebagai medepleger (turut serta) bersama Zulkarnain dan Apendi. Sementara Zulkarnain dan Apendi terbukti menyalahgunakan wewenang. Tidak jelas kualifikasi deelnemingnya (penyertaan). Ujung-ujungnya aktor intelektual kasus AFIS belum terungkap.
Hal serupa juga terjadi dalam kasus korupsi busway yang melibatkan Rustam Effendi Sidabutar (Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta) dan Sylvira Ananda (Pimpro Busway). Keduanya diputus bersalah menyalahgunakan jabatan. Sementara rekanannya, Budi Susanto, mantan Direktur Utama PT Armada Usaha Bersama dituding melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
Begitu pula dalam kasus korupsi penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kalimantan Timur. Kasus yang dibagi menjadi empat berkas ini bahkan berbeda soal perhitungan kerugian negara. Dalam tingkat banding, kasus penerbitan IPK yang melibatkan Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kaltim non-aktif, putusan pengadilan Tipikor tingkat pertama dibatalkan. Menurut majelis hakim banding, putusan itu salah dalam menerapkan hukum. Putusan itu dikoreksi dan Suwarna juga dikenakan Pasal 2 ayat (1) seperti rekanannya, Marthias alias Pung Kian Hwa.
 Padahal jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 142 KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama. Jadi menurut penulis kasus-kasus diatas harusnya tidak menggunakan metode pemecahan perkara ( splitsing ) karna kasus-kasus diatas hanya terdapat satu kasus yang sama.
Apalagi, biasanya ada terdakwa baru  dalam kasus yang sama diajukan ke pengadilan setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Otomatis terdakwa baru itu pasti dihukum. Sebab dalam putusan itu, terdakwa lama sudah dinyatakan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan terdakwa baru.  Di satu sisi splitsing perkara memang dibenarkan oleh undang-undang. Namun disisi lain, pemisahan itu kerap menimbulkan masalah. Berdasarkan wawancara hukumonline kepada ahli hukum, ada tiga problem yang mencuat dalam pemisahan perkara. Pertama perbedaan penerapan hukum, pelanggaran azas non self incrimination dan praduga tak bersalah dan kaburnya unsur deelneming.
Berikut penjelasan tentang deelneming dan azas non self incrimination
Deelneming
Menurut ahli hukum acara pidana, Chairul Huda splitsing di Pengadilan Tipikor tidak tepat. Bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya, tegasnya. Sebab, lanjutnya, pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan tidak terbukti.
Hal senada juga disampaikan oleh Rudy Satrio, ahli hukum pidana Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku, terangnya.
Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang dilakukan berbeda. Kalau tidak sama, turut serta dalam melakukan  apa ? Kalau pasalnya beda tidak bisa dikatakan deelneming, red), terang Rudi. Chairul menerangkan semua atau salah satu unsur yang ada dalam dakwaan harus dilaksanakan secara bersama-sama. Kalau dia didakwa sendiri bagaimana membuktikan bersama-samanya, tandasnya. Terdakwa tunggal itu tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama orang lain. Menurutnya dosen Universitas Muhammadiyah itu, inkonsitensi penerapan pasal menunjukan adanya dua delik yang berbeda. Padahal didakwa melakukan deelneming. Menunjukan ketidaktepatan dalam menerapkan pasal, terangnya. 

Azas Nonself Incrimination
Menurut penulis disini konsekuensi lain dari splitsing adalah, para pelaku harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing. Dalam satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul saksi mahkota.
Menurut Chairul, itu tidak bisa dibenarkan. Karena dalam memberikan keterangan saksi harus disumpah. Artinya dia tidak boleh bohong. Sementara, dalam kapasitas terdakwa, pelaku tidak disumpah. Ia punya hak ingkar. Artinya dia boleh bohong, terang Chairul. Kondisi itu, kata Chairul, sangat tidak adil bagi terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak hanya menegakan hukum, tapi juga keadilan. Padahal, terdakwa tidak boleh dipersalahkan atas keterangannya.
Apalagi, keterangan yang diberikan besar kemungkinan menunjukan kesalahan dia dalam kasus tersebut. Dia mengatakan hal yang membenarkan kesalahannya, terang Rudi. Disisi lain, hal ini kerap dijadikan petunjuk bagi hakim dalam menangani kasus pelaku itu sendiri. Padahal selaku terdakwa ia memiliki hak ingkar. Chairul menambahkan praktek saksi mahkota mengakibatkan pengadilan tidak dilaksanakan tidak berdasarkan hukum acara (due proecss of law). Itu bisa dijadikan alasan kasasi dan banding, terangnya.
Terkait dengan penyusulan terdakwa baru, Rudi menyatakan hal itu melanggar azas praduga tak bersalah. Sebab pemeriksaan di muka persidangan belum selesai. Namun dengan putusan terdakwa lama ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya pemeriksaan itu hanya formalitas saja. Menurut Rudi, pemisahan itu bisa dilakukan dalam hal kekurangan alat bukti. Misalnya dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang. Tidak ada yang bisa dijadikan saksi kecuali para pelaku dan korban. Dalam hal ini diantara pelaku itu akan dijadikan sebagai saksi. Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. Harus bisa dilihat apakah terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan, terang Chairul. Misalnya antara penyuap dan pejabat yang menerima suap.
Dalam KUHAP Splitzing atau pemecahan berkas perkara memang dimungkinkan dan menjadi bagian dari kewenangan Jaksa Penuntut Umum. Namun, menurut penulis disini harusnya kewengan ini dilakukan secara selektif. Karena bila tidak hati-hati malah akan melanggar beberapa ketentuan KUHAP lainnya
Pemecahan berkas perkara yang pada pokoknya satu perkara biasanya digunakan oleh Jaksa untuk perkara-perkara dimana tindak pidananya dilakukan secara berjamaah. Dalam konteks ini, kemudian muncul istilah saksi mahkota. Dimana Terdakwa menjadi saksi bagi Terdakwa lainnya yang pokok perkaranya sama karena tindak pidana dilakukan secara berjamaah
Pada dasarnya secara prinsip KUHAP menyatakan dalam Pasal 66 jo Pasal 189 ayat (2) KUHAP bahwa Tersangka atau Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dan keterangan terdakwa tersebut hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri, disamping itu terdakwa juga memiliki hak ingkar berdasarkan Pasal 175 KUHAP.
Artinya pemecahan berkas perkara itu sendiri sudah mengandung kelemahan hukum sedari semula. Karena Terdakwa akan bersaksi yang mana kesaksiannya tersebut secara tidak langsung dapat memberatkan tindak pidana yang dilakukannya
Dalam hal ini, sebenarnya ketika berkas perkara itu dipecah, terdakwa yang menjadi saksi berhak untuk diam begitu juga terdakwanya sendiri ketika akan memberikan keterangan tentang tindak pidana yang dilakukannya secara berjamaah itu dengan kata lain KUHAP sebenarnya melarang penggunaan terdakwa untuk menjadi saksi dalam perkara yang berkasnya dipecah. Ketentuan serupa juga bisa kita temukan dalam berbagai Putusan MA: No 1174 K/Pid/1994, No 1590 K/Pid/1994, No 1592 K/Pid/1994, No 1706 K/Pid/1994, No 381 K/Pid/1995, dan No 429 K/Pid/1995 yang telah menciptakan yurisprudensi yang berbobot dan bernilai mengenai status hukum ”Saksi Mahkota” yang selama puluhan tahun dijalankan dan diterima oleh para hakim sebagai sesuatu yang benar. Dengan adanya yurisprudensi baru ini, maka adanya ”Saksi Mahkota” adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Hakim seharusnya menolak saksi mahkota (Ali Budiarto, Varia Peradilan No 120, September 1995)
Oleh sebab itu Jaksa sedapat mungkin harus menghindari penggunaan saksi yang terdakwa ini karena bukan tidak mungkin kehadiran terdakwa menjadi saksi dalam perkara yang pada pokoknya adalah sama merupakan elemen kunci dan satu-satunya dalam pembuktian dan bukan salah satu elemen dalam pembuktian dalam suatu tindak pidana.
Jadi disini penulis dapat menyimpulkan dari berbagai kasus diatas dan pendapat dari pakar hukum pidana bahwa metode pemecahan perkara atau splitsing itu harus diterapkan pada kasus kasus yang memang harus diterapkan. Seperti pada kasus Kejaksaan Negeri Kota Malang yaitu adanya koneksitas yaitu dalam tindak pidana tersebut terdapat para pelaku orang sipil yang tunduk pada peradilan umum dan anggota militer (TNI) yang tunduk pada peradilan Militer. Selain Metode splitsing ini bermanfaat dalam upaya mendapatkan alat bukti, metode ini juga memiliki beberapa kekurangan/ masalah yaitu Pertama perbedaan penerapan hukum, pelanggaran azas non self incrimination dan praduga tak bersalah dan kaburnya unsur deelneming seperti yang telah dijelaskan penulis diatas.




1 komentar:

  1. How to play casino games online and mobile in - Kadangpintar
    Casino Game Variety — 인카지노 Online Casino kadangpintar is a fun game that is based on the elements of gambling. The game of choice is in the casino, as 1xbet

    BalasHapus